Sabtu, 08 Juli 2017

Catatan 7 Hari Tanpa Handphone

Waktu lebaran kemarin, saya mencoba untuk mematikan HP selama seminggu penuh. Saya melakukan itu karena menurut saya, libur hari raya adalah satu-satunya waktu dalam setahun dimana semuanya sedang menikmati momen bersama keluarga. Di benak saya, "Buat apa juga buka HP pas lebaran? Ya kalo ada yang butuh.. jangan menghubungi pas hari raya.". Sepupu saya sempat bilang "Gak mungkin!!". Tapi saya akhirnya berhasil juga. Selama seminggu ini pun saya mendapatkan banyak hikmah dari mematikan HP.


1. Ketergantungan terhadap gadget itu nyata

Ketika hari pertama saya mematikan HP, atau saat hari raya Idul Fitri, saya merasa tidak ada tanggung jawab apa-apa dan tugas saya sebagai panitia Itikaf P3R Salman pun sudah selesai. (pengalaman saya menjadi panitia itikaf bisa dibaca di Garda Terdepan Pelayanan Jamaah P3R Salman ITB). Saya memang berencana menikmati setiap detik dari hari raya. Di hari itu, saya dan keluarga pergi ke Sumedang dan Padasuka setelah Shalat Ied untuk menemui saudara-saudara disana. Hari pertama ini mudah terlewati, hanya terisi oleh percakapan dan rasa kebahagiaan.

Hari kedua, saya merasakan ketergantungan terhadap gadget itu ada. Saya dan keluarga berangkat ke Surabaya dengan pesawat sore harinya. Saya pun mendapati bahwa setiap saya gabut, gak ada kerjaan, saya selalu berpikir untuk mengambil hp saya seperti biasa di hari lainnya. Lalu saya berpikir, "Ah buat apa buka hp hari ini". Ketika sampai Bandara Juanda di Surabaya, kami menunggu saudara kami untuk menjemput. Dalam waktu menunggu yang cukup lama itu, semua anggota keluarga saya membuka HP masing-masing, kecuali saya. Ibu membuka Instagram, Bapak sibuk dengan chat-chat di Telegram, Zidan sibuk dengan aplikasi Musicaly-nya. Sementara saya? Hanya melihat orang-orang dan keluarganya berlalu lalang di pintu keluar bandara. Seberapa tergantungnya kita semua dengan gadget, terutama handphone.

2. Setelah menyingkirkan ketergantungan, ada kekosongan

Hari ketiga, saya masih merasakan ketergantungan itu. Di bus dari Surabaya menuju Mojokerto, kota tempat pertemuan keluarga di hari itu, sepertinya semua orang termasuk sepupu-sepupu saya yang masih muda memegang HP masing-masing. Sementara saya? Saya membaca sebuah buku non-fiksi, berjudul General's Son, yang menceritakan perjalanan seorang anak dari jenderal Israel di Palestina. Di selingan membaca, saya melihat pemandangan keluar, atau tidur jika saya mengantuk. Saya pun seringkali bergumam sebuah lagu, ketika saya tidak bisa mendengar lagu dari HP saya karena sedang dimatikan. Saya sering meminta Zidan untuk memutar lagu dari HP-nya.

Hari berikutnya, saya pergi ke Malang dengan bus yang sama. Saya sudah mulai membiasakan hidup tanpa HP, saya tidak terpikir lagi untuk membuka HP. Saya hanya berpikir untuk membaca buku non-fiksi itu dikala sedang waktu sendiri dan waktu di bus, atau mengobrol dengan anggota keluarga lain selagi ada kesempatan, atau bahkan saya hanya melihat pemandangan dan menikmati detik-detik yang ada. Lalu saya menyadari, ketika buku saya habis terbaca, saya akan mengalami kekosongan. Mungkin bingung mau ngapain sampai ada buku baru. Untuk orang yang tidak suka membaca atau tidak punya hobi lain, mungkin dia akan merasa sangat kosong jika tidak ada gadget. Mungkin itulah sebabnya mengapa orang-orang sulit untuk melepaskan gadget dari hidupnya.

3. Generasi muda, khususnya Generasi Z, adalah generasi yang antisosial

Banyak yang bilang, Generasi Z adalah generasi yang dilahirkan tahun 2000 keatas, ada juga yang bilang tahun 1995 keatas. Tapi menurut saya, Generasi Z adalah generasi yang hidupnya sangat dipengaruhi oleh keberadaan gadget. Generasi yang dari sejak mereka bisa baca pun sudah ada gadget. Dan menurut saya, generasi adik saya termasuk kedalamnya. Adik saya ketika menduduki bangku SD sudah ada gadget seperti Android. Sementara saya, gadget seperti Android baru muncul ketika menduduki bangku SMP. Tapi itu memberikan dampak yang sangat signifikan. Mereka tumbuh diiringi keberadaan gadget. Ketika anak-anak ini masih kecil dan seharusnya berlari-lari bermain petak umpet, mereka malah duduk dan bermain gadget. Generasi Z adalah generasi yang pasif dan antisosial. (sosial-nya itu berinteraksi secara langsung ya bukan via media sosial)

Ketika di rumah saudara waktu hari pertama, Zidan dan Rio, sepupunya yang juga seumuran, menurut saya benar-benar ansos. Ketika yang lain mengobrol, mereka asik sendiri dengan dunia mereka sendiri. Mungkin eyang-ku bingung, anak-anak ini dateng, salam, duduk, main hp, salam lagi, terus pulang gitu aja? Dengan HP yang selalu menempel di tangan mereka, saya merasa generasi ini sudah tergantung berat dengan gadget, jauh melebihi generasi saya yang masih menyempatkan diri kami untuk mengobrol.

4. Media sosial lebih adiktif dari semua hal kecuali oksigen

Mungkin agak lebay, tapi memang begitulah adanya. Sepertinya aktivitas yang paling sering kita semua lakukan selain bernafas adalah membuka media sosial. Entah itu Line, Whatsapp, Instagram, Twitter, Facebook, Telegram, semuanya bersifat sama: ADIKTIF. Mungkin karena memang media sosial itu diciptakan untuk menjadi sesuatu yang adiktif. Yang menimbulkan semua orang membukanya setiap menit, atau setidaknya ketika gabut, scrolling timeline Line atau Instagram, melihat postingan dari akun-akun following mereka.

Yang saya dapatkan adalah: Membaca satu buku non-fiksi jauh lebih bermanfaat daripada men-scroll timeline selama berpuluh-puluh jam. Selama seminggu itu, saya berhasil menamatkan satu buku non-fiksi. Saya mendapat ilmu banyak dari buku itu, saya mengetahui perjalanan hidup seseorang, saya mengetahui kondisi nyata di negeri yang jauh disana (Israel-Palestina), dan saya tahu opini mendalam dan dasar dari opini seorang anak jenderal Israel yang menginginkan perdamaian. Saya merasa sudah mendapatkan banyak, ketimbang melihat timeline Line-Instagram setiap harinya, hanya untuk mendapatkan jokes-jokes, gosip-gosip, opini-opini panas, dan informasi-informasi dangkal yang nantinya pun itu semua akan terlewat dan hilang begitu saja.

5. Media sosial mempengaruhi pola pikir netizen

Tak hanya adiktif, media sosial secara gak sadar mempengaruhi berat pola pikir para penggunanya. Instagram dikit-dikit meracuni kita semua, membuat para pengguna untuk mengharuskan men-share setiap detik hidupnya, membuatnya harus pamer setiap ke tempat baru, membuat envy ketika following-nya sedang memamerkan lifestyle 'mahal'-nya, dan membuat khawatir akan jarangnya like. Percaya atau tidak, kebanyakan pengguna rutin instagram merasakan itu semua. Come on man, not every part of your private life needs to be public.

Sebagai orang yang jarang buka Instagram, media sosial yang paling berpengaruh untuk saya adalah Line. Line adalah media sosial yang mungkin hampir dipakai semua golongan muda, dan jadi ujung tombak dalam berkomunikasi. Semua berita dari line, semua kabar yang berkaitan perkuliahan dan kemahasiswaan dari Line, dan opini-opini orang pun banyak terekspresikan lewat Line. Line adalah media sosial yang paling membuat panas dan penat pikiran untuk saya. Selama seminggu tanpa HP ini, saya merasakan ketenangan, saya merasakan benar-benar menikmati hidup, saya berhasil menenangkan pikiran dan melupakan segalanya. Mungkin di hari-hari itu yang saya pikirkan hanyalah diri saya, keluarga, buku saya, dan momen di hari-hari itu.

6. Media sosial mendekatkan yang jauh

Di hari keenam, walaupun saya merasa nikmatnya hidup tanpa beban pikiran apapun, saya mulai merasa kangen. Saya kangen dengan teman-teman dekat saya, saya kangen dengan waktu-waktu saya mengobrol dengan mereka, saya merasa terisolasi, tidak tahu kabar apa-apa dari teman-teman saya, juga tidak tahu kabar ITB dan Bandung. Saya pun sadar, walaupun media sosial punya banyak efek buruk, saya akui bahwa media sosial berhasil menghubungkan kita semua. Media sosial berhasil mendekatkan jarak diantara kita semua. Namun, karena terkoneksinya kita pada setiap saat, kita jadi tidak kangen satu sama lain, terkadang pun kita jadi tidak menghargai setiap pertemuan diantara kita.

Saya suka sedih kalau lagi ngumpul dengan teman-teman dekat saya, dan kita malah sibuk melihat hp masing-masing, entah sedang terkoneksi dengan siapa yang jauh disana. Media sosial membuat kita menjadi tidak apresiatif dengan pertemuan-pertemuan yang kita lakukan. Kita janjian untuk berkumpul lewat media sosial, hanya untuk mendapati dunia medsos kita sendiri ketika sedang berkumpul. Menurut saya, walaupun media sosial mendekatkan yang jauh, jangan sampai menjauhkan yang dekat. Hargai selagi dekat.

7. Walaupun banyak efek buruknya, gadget terbukti memudahkan kita

Selama perjalanan hampir seminggu di Jawa Timur itu, saya merasa kehilangan gadget ketika saya membutuhkannya. Buku non-fiksi yang saya baca berbahasa inggris, dan tanpa handphone, saya seringkali melewat kata-kata yang tidak saya ketahui artinya. Saya butuh kamus, tapi ribet kalau bawa kamus tebel dan harus melihat kamus setiap membaca buku itu. Ketika di jalan pun, saya kira jika saya sambil mendengar musik, perjalanan itu akan lebih terasa nikmatnya, sayangnya saya tidak bisa mendengar musik dari HP saya sendiri. Lalu ketika saya ke toilet sendiri, berpisah dari rombongan, saya meminjam handphone ibu, hanya untuk disimpan di saku dan jaga-jaga jika saya tidak tahu mereka dimana. Saya akui, gadget sudah memudahkan kita dan menjadi hal penting yang tidak terpisahkan dari hidup kita.

Inilah yang sudah saya dapatkan selama seminggu tanpa handphone kemarin. Menurut saya, gadget dan media sosial berdampak sangat baik dan memudahkan kita semua. Tinggal kita, sebagai pengguna, yang harus menggunakannya dengan bijak dan tidak terlalu tergantung dengan gadget dan medsos itu. Jangan tergantung, isi kekosongan dengan hobi yang baik, jadilah orang produktif.

"We don't have a choice on whether we do social media, the question is how well we do it." -Erik Qualman


Keep Positive and Keep Moving Forward!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar