Kamis, 11 Agustus 2016

Take It or Leave It

Memang sulit untuk memutuskan jika sudah dalam kondisi "Take It or Leave It". Ketika kita harus mengambil atau melepaskan. Semuanya ada baik dan buruk masing-masing. Semua ada resiko, tapi pertanyaannya, apakah kamu cukup berani untuk mengambil resiko itu demi reward yang lebih besar?

Jadi, beginilah kondisi saya sekarang. Saya baru saja lolos tes tulis beasiswa Monbukagakusho dan saya dipanggil untuk tes wawancara dalam waktu dekat. Katanya, kalau sudah masuk tes wawancara, peluang untuk lolos sudah sangat besar dan tidak seketat tes tulis. Saya pun diharuskan untuk memilih, lanjut atau tidak? Jika lanjut dan lolos, saya harus rela melepas ITB, salah satu kampus terbaik di Indonesia. Tak hanya itu, saya harus rela melepas jurusan Teknik Industri, jurusan yang saya impikan, karena beasiswa Monbukagakusho ini tidak menyediakan pilihan jurusan Teknik Industri atau Industrial Engineering. Tentu pilihan yang berat bukan?

 Awalnya setelah saya tahu saya lolos tes tulis, saya bingung dan tidak seyakin ketika sebelum mengikuti tes tulis. Saya ragu, apakah saya bisa melepaskan Teknik Industri ITB yang mungkin ribuan orang idamkan. Saya pun menanyakan pendapat keluarga dan sahabat saya, mereka sepertinya lebih condong agar saya tetap disini, tapi tetap menyerahkan pilihan itu ke tangan saya. Kalau menurut orang tua, ini bukan tentang apakah saya bisa bertahan disana, tapi tentang apakah saya mau bertahan disana dengan menjalani jurusan yang pastinya bukan Teknik Industri. Pilihan jurusan menjadi penghalang terbesar saya dengan Jepang.

Saya pun hampir memutuskan untuk tidak melanjutkan. Tapi Allah sepertinya memiliki rencana lain. Bilang saja saya lebay, tapi inilah momen yang benar-benar tidak direncanakan dan mengubah pikiran saya. Momen ini sangat pas seperti takdir yang memang mempertemukan. Sebelum mulai sidang penerimaan mahasiswa baru di Sabuga, saya awalnya sedikit telat untuk berangkat. Saya memutuskan untuk parkir di tempat parkir ITB sebelah timur yang sangat jauh dari Sabuga karena saya ada agenda di Masjid Salman yang lebih dekat dari situ di sore hari nanti. Saya melewati terowongan ITB yang tembus ke Sabuga. Sesampainya di Sabuga, di jalan yang sama, saya bertemu kenalan saya bernama Harris yang sedang menunggu temannya sebelum masuk. Saya pun entah kenapa ingin ikut menunggu agar bisa masuk bareng ke Sabuga. Begitu masuk dan sudah di tempat duduk, teman yang bersama saya satu lagi bernama Rifki menanyakan tentang Monbu, kemudian Harris ini jadi ikut menanyakan juga, ternyata Harris ikut tes Monbu juga dan sama-sama lolos tes tulis. Sepertinya dia sebelumnya sudah tahu bahwa saya ikut tes Monbu. Kita pun mengobrol mengenai bagaimana kelanjutannya. Seandainya tidak bertemu di jalan mungkin percakapan itu tidak akan ada.

Ternyata kondisi Harris sama seperti saya. Sama-sama sudah diterima FTI ITB, sama-sama ikut tes Monbu dengan niat coba-coba awalnya, sama-sama baru belajar seminggu sebelumnya dan lolos tes tulis dengan tak diduga. Bedanya, dia benar-benar sudah bertekad untuk melanjutkan sementara saya penuh keraguan. Dia rela untuk melepas FTI ITB demi beasiswa Monbukagakusho yang belum jelas disana akan dapat jurusan dan universitas apa. Lalu ini membuat saya berpikir, semuanya ini tentang resiko, tapi apakah kamu rela untuk mengambil resiko yang besar demi mendapat sesuatu yang lebih besar?

Lebih baik menyesali apa yang kita coba lakukan daripada menyesali apa yang tidak kita coba lakukan. Lebih baik gagal melakukan hal yang baru daripada mati dengan rasa penuh penasaran. Dan tentunya, saya tahu saya akan menyesal jika saya tidak mencoba melanjutkan beasiswa Monbukagakusho ini. Semua resiko ketidakjelasan itu demi segudang pengalaman di negeri orang. Semua resiko itu demi kesempatan yang lebih besar. Lalu saya berpikir, kalau bisa bertahan dan sukses disana, apa sih yang tidak bisa saya lakukan?

Untuk jurusan, tidak sedikit orang yang salah jurusan. Tapi yang membuat mereka salah jurusan adalah tidak terimanya dan tidak minatnya mereka dengan jurusan itu yang membuat mereka tidak bisa bertahan. Bagaimana kalau Teknik Industri ITB bukan yang terbaik untuk saya? Bagaimana kalau saya bisa cinta sama jurusan lain? Tidak ada yang tahu kecuali Yang Maha Kuasa. Saya memutuskan untuk melanjutkan, dan jika diterima, mungkin memang TI ITB bukan yang terbaik untuk saya.

Jadi saya mohon doanya kepada semuanya, terutama keluarga dan sahabat saya yang mungkin membaca tulisan ini. Saya minta doanya untuk diberikan yang terbaik. Jangan doakan saya lolos, jangan doakan saya tetap disini, tapi doakan agar saya diberikan yang terbaik. Aamiin ya rabbal alamiin.

2 komentar:

  1. Halo thariq, kamu tahu ini siapa? Kalau ingat, saya panitia gathering FTI kemarin. Kita sempat berkenalan.
    Well, saya pun mengalami masalah yang hampir sama. Monbu saya tolak sejak tes tertulis. Saya diterima di PT Kedinasan dan FTI. Namun demikian, akhirnya saya dapat memilih dan memutuskan untu kemngambil jalan yang saya sukai.
    Tetap semangat, semoga dirimu bisa mengambil jalan dengan bijak dan Allah menuntun ke jalan yang terbaik. Tidak semua orang bisa secerdas dan seberuntungmu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf baru bales hampir sebulan kemudian wkwk. Iya inget rizki wkwk. Aamiin terimakasih banyak dukungan moral dan doanya, semoga kamu juga tidak ada penyesalan sama sekali ya setelah memilih FTI dan menolak monbu... mohon didoakan selalu :')

      Hapus