Di dunia ini tidak ada yang lebih membuat frustrasi daripada angka dan anak-anak. Angka tidak hanya angka matematika, tapi hampir semua angka yang lain. Orang-orang selalu mengejar angka, angka di kolom nilai ijazah lah, angka di rekening bank lah, angka di jumlah likes instagram lah, angka di tanggal deadline penyerahan skripsi lah. Angka-angka ini tanpa disadari menjadi alasan kita frustrasi selama ini. Sementara anak-anak, yaa mungkin yang sudah memiliki anak lebih tau.
Itu yang awalnya aku kira, sampai aku menyadari ada yang lebih membuat frustrasi dari itu..... Anak-anak yang frustrasi karena angka.
Ya mungkin angka di konteks ini angka matematika. Ini aku sadari ketika aku bekerja di tempat les matematika yang kita sebut saja Kumon.
Oke curhat dulu... alhamdulillah aku diterima di ITB lewat SNMPTN, akibatnya datanglah kegabutan yang membuat aku desperate untuk mencari kerjaan dan akhirnya "melamar" untuk menjadi asisten di Kumon (disini namanya asisten bukan pengajar). Kok bisa padahal kan belum ada ijazah? Jadi aku completer kumon dan sebut saja ada hubungan baik dengan Kumon disini :D
Jadilah aku, seorang asisten Kumon parttime, dengan bayaran... ya ga sebanyak yg dipikirkan. Tapi lumayan lah dapet pengalaman juga. Lalu aku berpikir anak-anak Kumon membayar mahal sebagian besar untuk metode yang diterapkan Kumon, bukan untuk pengajarnya. Metode dan ide itu mahal, itulah yang terhitung membedakan sesuatu dengan yang lain.
Oke kembali ke topic, lalu apa yang membuat anak-anak frustrasi itu? Kumon ini tidak mengikuti kurikulum sekolah, mereka memiliki metode yang membimbing anak-anak untuk belajar diatas yang seharusnya. Coba bayangkan anak kelas 3 SD belajar Pemfaktoran dan anak kelas 1 SMP belajar Nilai Maksimum Fungsi Kuadrat. Pasti lah anak-anak itu frustrasi dihadapkan dengan angka tanpa mereka tau tujuannya dalam mempelajari itu, apalagi di sekolah mereka bahkan belum diajarkan yang namanya variabel X sampai setidaknya kelas 2 SMP. Kemudian anak-anak itu diharuskan mengerjakan soal setiap hari, bagaimana gak frustrasi? Aku pun hampir menyerah dulu (untungnya engga dan jadi completer yey!).
Lalu bayangkan para asisten Kumon yang dihadapkan dengan puluhan anak frustrasi itu setiap hari (atau setidaknya tiap Selasa dan Jumat). Bayangkan betapa frustrasi dan aral nya mereka. Tidak hanya harus "bergulat" dengan angka, tapi juga harus "bergulat" dengan anak-anak. Jadilah aku bagian dari kumpulan prajurit pantang menyerah ini.
Mungkin agak berlebihan tapi itulah kenyataannya. Sebenernya ga seburuk yang dibayangkan kok, dibalik rasa frustrasi itu ada saja rasa kepuasan, kepuasan setelah membuat anak SD mengerti pemfaktoran :")
Sudah empat pertemuan aku bekerja, dan aku senang setelah menemui keunikan anak-anak disini. Anak-anak disini unik, ada yang diam sambil frustrasi memikirkan jawaban dari soal didepannya, ada yang bulak balik nanya asisten, ada yang pikirannya entah kemana barijeung soalnya ga dikerjain sama sekali, bahkan ada yang brutal sampai memarah-marahi dan menendang-nendang asistennya. Tapi yang membuatku senang adalah anak-anak yang konsisten melakukan kesalahan yang sama di jawaban mereka, aku jadi mengerti bagaimana pikiran mereka ketika mengerjakan soal-soal itu. Memang mereka anak-anak dan mereka berbuat kesalahan, tapi mereka akan belajar dari kesalahan itu. Juga belajar dalam menghadapi rasa frustrasi itu.
Aku sadar betapa hebatnya guru matematika yang bisa sabar menghadapi anak-anak seperti ini. Tidak hanya guru matematika, semua guru berhak mendapat penghargaan atas usaha mereka. Meskipun gaji tidak terlalu besar, mereka terus mengerahkan semuanya untuk mencerdaskan anak-anak bangsa.
Mengerti sesuatu itu mudah, tapi membuat orang lain untuk mengerti sesuatu itu tidak mudah. Itu kemampuan yang tidak dimiliki semua orang. Jadi..hargailah orang-orang yang bisa membuat kalian mengerti sesuatu, apapun itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar